Sabtu, 10 Mei 2014

KOTA SADAR LINGKUNGAN BERDASARKAN NILAI ISLAM

Sriany Ersina

Lecturer, Department of Architecture, Urban Design Data Lab., State Islamic University of Alauddin Makassar, South Sulawesi, Indonesia.


Abstrak
Berbagai bencana yang terjadi di lingkungan perkotaan di Indonesia, akibat dari perilaku manusia dalam mengelola lingkungan yang menjadi tempat tinggalnya. Agama Islam sebagai pedoman dan pandangan hidup manusia sebenarnya telah memberikan petunjuk mengenai ajaran hidup tanggap lingkungan agar terbentuk keselarasan dan keberlanjutan kehidupan semesta. Krisisnya nilai moral Islam yang didorong dengan tindakan praktis dan kepentingan prakmatis telah mendorong terjadinya penyimpangan tersebut. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan yang mengantarkan kesadaran untuk membumikan kota tanggap lingkungan sebagai bagian menifestasi keyakinan sehingga mengakar dalam kehidupan manusia. Kajian ini membahas tentang keterkaitan konstruksi ataupun fisik kota yang tanggap terhadap lingkungan yang menempatkan desain kota yang berlandaskan nilai moral Islam.
Kata Kunci : kota, tanggap lingkungan, nilai moral islam. 

Latar Belakang
Kota sekarang ini menjadi semakin penting, karena tidak hanya sebagai tempat tinggal manusia juga sebagai tempat pusat berakitifitasnya manusia; berdasarkan laporan Bank Dunia pada tahun 2010, dua pertiga (2/3) manusia akan tinggal di perkotaan. Pada masa mendatang, selain mengalami kemajuan pesat maka kota-kota akan mengalami penumpukkan beban semakin berat; mulai dari masalah urbanisasi yang tidak kunjung selesei, konflik sosial, sampai pada kenyamanan tinggal di kota. Sebagian kota-kota di Indonesia menjadi ruang yang tidak aman. Beberapa tahun terakhir ini, kota-kota di Indonesia di landa berbagai bencana. Mulai dari tsunami hingga kekeringan yang seakan-akan mengingatkan kekuatan alam yang tak terkalahkan oleh kemajuan peradaban manusia. Fenomena banjir yang melanda perkotaan Indonesia saat musim penghujan dan situasi kekeringan saat musim kemarau semakin meningkat. Kondisi ini mengingatkan bahwa sebenarnya kota-kota Indonesia sangat rentan perubahan ekstrim musim hujan dan kemarau. Namun demikian para ahli lingkungan menjelaskan bahwa bencana tersebut berkaitan dengan keberadaan Indonesia terletak di kawasan daerah khatulistiwa. Bencana terjadi karena manusia tidak atau kurang memperhatikan hal tersebut serta membangun sistem  yang mampu mengendalikan dampak bencana tersebut atau dengan kata lain manusia yang membentuk kota-kota tersebut lalai terhadap faktor-faktor lingkungan.
Bagaimana mengkaitkan kota tanggap lingkungan dengan faktor manusianya. Ada ilustrasi menarik tentang perbedaan perspektif sebab-musabab terjadinya bencana alam. Bencana alam dianggap sebagai kejadian alam yang terlepas dari rahmat atau laknat Tuhan. Pesan yang disampaikan adalah tidak perlu mengkaitkan fenomena alam dengan kekuasaan Tuhan. Faktor manusia yang menjadi penyebab karena toh umat yang taat sekalipun tidak terlepaskan dari bencana tersebut. Pandangan tersebut sekilas benar, untuk tidak mengkaitkan bencana dengan agama. Namun pandangan dalam perspektif agama adalah sebagai tatanan nilai dan norma yang membentuk budaya manusia, jadi bisa dikatakan perspektif tersebut di atas sangat keliru. Prinsip-prinsip tradisi kearifan yang mendekatkan diri pada pencegahan atau kewaspadaan pada bencana alam merupakan sumber tidak ternilai dalam kebudayaan modern. Rasionalitas dalam memandang bencana atau memandang lingkungan seakan terpisah dari unsur-unsur ruhaniah manusia telah menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan.
Para budayawan mengingatkan local genius, sebagai kekuatan yang dihasilkan kearifan manusia dengan lingkungannya. Kehilangan local genius telah menyebabkan cara-cara manusia membentuk kota atau ruang binaan lainnya mengabaikan keterkaitan lingkungan. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi tersebut diakibatkan perubahan tata ruang perkotaan sebagai akibat kesalahan perilaku warganya. Agama menjelaskan Alqur’an surat Ar-Ruum[30:41]; dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa dampak kerusakan yang terjadi akibat perilaku manusia, merupakan peringatan agar manusia sadar akan kesalahannya. Hal ini menunjukkan bahwa agama sebagai sumber nilai dan norma memiliki potensi untuk menuntun dan menyadarkan umat manusia. Melalui pengembangan nilai-nilai agama akan mendorong umat manusia untuk bertingkah laku dan berbudaya sesuai prinsip “amar ma’ruf nahi munkar”. Namun realitasnya, pemahaman agama masih terbatas pada lapangan ibadah ritual bukan pada dimensi sosial masyarakatnya. Hal ini membuat agama dipahami sebagai seperangkat tata nilai dan norma yang jauh dari kebutuhan hidup manusia. Pada sisi lain, ulama maupun cendikiawan cenderung menempatkan agama pada tataran normatif yang praktis dalam hal tindakan maupun pemikiran. Berbagai penjelajahan, peperangan, dan kebudayaan umat manusia dibangun dari kesadaran agama sebagai keyakinan absolute yang termanifestasi dalam tindakan-tindakan yang bersifat relatif (baca:kebenaran atau kesalahan).

2 komentar: