Sriany Ersina
Lecturer, Department of Architecture, Urban Design Data Lab., State Islamic University of Alauddin Makassar, South Sulawesi, Indonesia.
Abstrak
Berbagai bencana yang terjadi di
lingkungan perkotaan di Indonesia, akibat dari perilaku manusia dalam mengelola
lingkungan yang menjadi tempat tinggalnya. Agama Islam sebagai pedoman dan
pandangan hidup manusia sebenarnya telah memberikan petunjuk mengenai ajaran
hidup tanggap lingkungan agar terbentuk keselarasan dan keberlanjutan kehidupan
semesta. Krisisnya nilai moral Islam yang didorong dengan tindakan praktis dan
kepentingan prakmatis telah mendorong terjadinya penyimpangan tersebut. Dalam
hal ini diperlukan pengetahuan yang mengantarkan kesadaran untuk membumikan
kota tanggap lingkungan sebagai bagian menifestasi keyakinan sehingga mengakar
dalam kehidupan manusia. Kajian ini membahas tentang keterkaitan konstruksi
ataupun fisik kota yang tanggap terhadap lingkungan yang menempatkan desain
kota yang berlandaskan nilai moral Islam.
Kata Kunci : kota, tanggap lingkungan, nilai moral islam.
Latar Belakang
Kota sekarang ini menjadi semakin
penting, karena tidak hanya sebagai tempat tinggal manusia juga sebagai tempat
pusat berakitifitasnya manusia; berdasarkan laporan Bank Dunia pada tahun 2010,
dua pertiga (2/3) manusia akan tinggal di perkotaan. Pada masa mendatang,
selain mengalami kemajuan pesat maka kota-kota akan mengalami penumpukkan beban
semakin berat; mulai dari masalah urbanisasi yang tidak kunjung selesei, konflik
sosial, sampai pada kenyamanan tinggal di kota. Sebagian kota-kota di Indonesia
menjadi ruang yang tidak aman. Beberapa tahun terakhir ini, kota-kota di
Indonesia di landa berbagai bencana. Mulai dari tsunami hingga kekeringan yang
seakan-akan mengingatkan kekuatan alam yang tak terkalahkan oleh kemajuan
peradaban manusia. Fenomena banjir yang melanda perkotaan Indonesia saat musim
penghujan dan situasi kekeringan saat musim kemarau semakin meningkat. Kondisi
ini mengingatkan bahwa sebenarnya kota-kota Indonesia sangat rentan perubahan ekstrim
musim hujan dan kemarau. Namun demikian para ahli lingkungan menjelaskan bahwa
bencana tersebut berkaitan dengan keberadaan Indonesia terletak di kawasan
daerah khatulistiwa. Bencana terjadi karena manusia tidak atau kurang
memperhatikan hal tersebut serta membangun sistem yang mampu mengendalikan dampak bencana
tersebut atau dengan kata lain manusia yang membentuk kota-kota tersebut lalai
terhadap faktor-faktor lingkungan.
Bagaimana mengkaitkan kota
tanggap lingkungan dengan faktor manusianya. Ada ilustrasi menarik tentang
perbedaan perspektif sebab-musabab terjadinya bencana alam. Bencana alam
dianggap sebagai kejadian alam yang terlepas dari rahmat atau laknat Tuhan.
Pesan yang disampaikan adalah tidak perlu mengkaitkan fenomena alam dengan kekuasaan
Tuhan. Faktor manusia yang menjadi penyebab karena toh umat yang taat sekalipun
tidak terlepaskan dari bencana tersebut. Pandangan tersebut sekilas benar,
untuk tidak mengkaitkan bencana dengan agama. Namun pandangan dalam perspektif
agama adalah sebagai tatanan nilai dan norma yang membentuk budaya manusia,
jadi bisa dikatakan perspektif tersebut di atas sangat keliru. Prinsip-prinsip
tradisi kearifan yang mendekatkan diri pada pencegahan atau kewaspadaan pada
bencana alam merupakan sumber tidak ternilai dalam kebudayaan modern.
Rasionalitas dalam memandang bencana atau memandang lingkungan seakan terpisah
dari unsur-unsur ruhaniah manusia telah menyebabkan ketidakseimbangan
lingkungan.
Para budayawan mengingatkan local genius, sebagai kekuatan yang dihasilkan kearifan manusia
dengan lingkungannya. Kehilangan local
genius telah menyebabkan cara-cara manusia membentuk kota atau ruang binaan
lainnya mengabaikan keterkaitan lingkungan. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi
tersebut diakibatkan perubahan tata ruang perkotaan sebagai akibat kesalahan
perilaku warganya. Agama menjelaskan Alqur’an surat Ar-Ruum[30:41]; dalam ayat
tersebut menjelaskan bahwa dampak kerusakan yang terjadi akibat perilaku
manusia, merupakan peringatan agar manusia sadar akan kesalahannya. Hal ini
menunjukkan bahwa agama sebagai sumber nilai dan norma memiliki potensi untuk
menuntun dan menyadarkan umat manusia. Melalui pengembangan nilai-nilai agama
akan mendorong umat manusia untuk bertingkah laku dan berbudaya sesuai prinsip
“amar ma’ruf nahi munkar”. Namun realitasnya, pemahaman agama masih terbatas
pada lapangan ibadah ritual bukan pada dimensi sosial masyarakatnya. Hal ini
membuat agama dipahami sebagai seperangkat tata nilai dan norma yang jauh dari
kebutuhan hidup manusia. Pada sisi lain, ulama maupun cendikiawan cenderung
menempatkan agama pada tataran normatif yang praktis dalam hal tindakan maupun
pemikiran. Berbagai penjelajahan, peperangan, dan kebudayaan umat manusia
dibangun dari kesadaran agama sebagai keyakinan absolute yang termanifestasi dalam tindakan-tindakan yang bersifat
relatif (baca:kebenaran atau kesalahan).
Tetap semangat dan fokus dengan Perkotaan Islam.
BalasHapusSubhanallah......
BalasHapus