Minggu, 17 Oktober 2010

TRANSPORTASI HIJAU MENUJU LINGKUNGAN SEHAT (Green Transportation to Healthy Environment)

ABSTRAK
Sebagian besar kota di Indonesia dirancang tanpa memperhatikan beberapa aspek seperti halnya iklim, energi, & lingkungan. Akibatnya, beberapa kota tersebut menjadi tidak cukup nyaman bagi warga setempat untuk tinggal dan bekerja. Dalam hal ini, Sistem dan infrastruktur transportasi adalah elemen yang menggerakkan mobilitas, karena akan menghubungkan keterpisahan ruang dan waktu. Perencanaan pembangunan transportasi akan menentukan mobilitas distribusi pertumbuhan sosial ekonomi yang tidak boleh dianggap sebagai masalah sektoral, melainkan harus ditempatkan sebagai sarana strategis yang merantaikan ruang kehidupan. Oleh karena itu perlu ada pemahaman terhadap pentingnya keseimbangan fasilitas antara pengendara bermotor dan non bermotor serta menentukan arah dan perencanaan alur transportasi yang integratif antara jenis-jenis transportasi yang aktif dan tata ruang mobilitas kegiatan ekonomi dan kesibukan sosial masyarakat yang akan membangun spiral kendaraan-jalan guna menuju lingkungan yang sehat.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis beberapa aspek yakni, iklim, lingkungan, dan energi yang berpengaruh terhadap rancangan kota, terkhusus kota Makassar (Kajian Secara Umum) serta moda transportasi dan jalan yang seharusnya.

Kata Kunci : Kota Makassar, transportasi, jalan, iklim, energi dan lingkungan.
 
 
PENDAHULUAN
Berbicara transportasi tidak lepas dari jalan dengan segala isinya dan berbicara hijau tidak lepas dari bersih, segar, & nyaman. Terkait dengan jalan, yang tidak hanya sebagai ruang publik, juga merupakan ruang dimana seluruh masyarakat mempunyai akses untuk menggunakannya dan memberikan kesempatan untuk digunakan atau dicapai secara fisik (Granham 1970). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), jalan adalah; ciri khas, tanda khas yang membedakan sesuatu dari yang lain. Dan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jadi jalan juga tidak lepas dari fungsi dan peranannya sebagai tempat pergerakan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan.
Kota Makassar adalah salah satu kota besar di Indonesia, dimana pertumbuhan kota terus meningkat dari tahun ke tahun akibat tingkat urbanisasi yang tinggi, hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi dari pada di daerah dan juga fasilitas di kota jauh lebih baik dari pada di daerah. Sebagai Ibukota Propinsi, kota Makassar akan berperan sebagai pusat pengendalian kegiatan skala regional pada umumnya, hal ini akan menjadikan kota Makassar sebagai daerah tujuan transportasi dan daerah bangkitan transportasi, jika bangkitan transportasi tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana khususnya bagi pejalan kaki maka akan menimbulkan titik konflik pada suatu ruas jalan. Sewajarnyalah, jika jumlah fasilitas pengendara bermotor berbanding lurus dengan fasilitas non bermotor dalam hal ini; pejalan kaki, pengendara sepeda, serta pengendara becak. Dimana para pejalan kaki atau pedestrian, pengendara sepeda, serta pengendara becak berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan bermotor, sehingga secara tidak langsung mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan manajemen lalu lintas adalah berusaha memisahkan pejalan kaki, pengendara sepeda, serta pengendara becak tersebut dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas.
Masyarakat modern memandang kota sebagai tempat berkumpulnya berbagai kelompok manusia atau komunitas yang saling berinteraksi untuk suatu kepentingan atau tujuan tertentu. Ukuran atau 'dimensi' kota mempengaruhi intensitas interaksi antar individu, kelompok maupun komunitas manusia tersebut. Interaksi manusia semakin intens dimana dimensi ‘waktu’ menjadi pendek terjadi di kota. Manusia cenderung memperpanjang dimensi waktu yang pendek dengan cara menempatkan fungsi-fungsi kegiatan tersebut sedekat mungkin, atau dengan kata lain saling ‘merapatkan’ bangunan yang digunakan sebagai wadah kegiatan fungsi tersebut. Perapatan bangunan ini akan memperpendek jarak tempuh antara fungsi kegiatan yang berbeda. Untuk kota dengan dimensi yang relatif kecil, rentang waktu tertentu, misalnya satu jam atau satu hari dapat digunakan oleh warga kota untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas yang berbeda, sehingga satuan waktu menjadi terasa lebih panjang. Hal ini dapat diamati apabila kita berada di suatu kota dengan dimensi yang relatif kecil tersebut. Jarak tempuh antara satu dengan tempat kegiatan yang lain relatif menjadi pendek, disamping kemungkinan terjadi kemacetan lalu lintas juga lebih kecil. Bagi mereka yang tinggal di kota seperti Makassar, keluhan mengenai sempitnya waktu untuk melaksanakan berbagai pekerjaan sudah mulai muncul. Pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam satuan waktu yang sama cenderung menjadi lebih sedikit bagi mereka yang bekerja di kota dibanding dengan mereka yang bermukim di daerah.
Isu mengenai dampak lingkungan akibat transportasi merupakan isu yang telah muncul sejak ditemukannya kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Data lingkungan yang ada menunjukkan bahwa sector transportasi umumnya berkontribusi sekitar 23% dari emisi gas CO (carbon monoxide/green house gas) dan tumbuh lebih cepat dari penggunaan energi di sektor lainnya.
Perkembangan jumlah kendaraan bermotor di perkotaan yang sangat pesat di era 90-an diduga terkait dengan kecenderungan terjadinya urban sprawl (terus-menerus) yang tidak diikuti dengan penyediaan sistem angkutan umum yang memadai sehingga menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi.  Berbagai studi yang ada menuding bahwa transportasi yang tidak terkendali telah mengakibatkan penurunan kualitas kehidupan perkotaan seperti menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, buruknya kualitas udara perkotaan, meningkatnya korban kecelakaan lalulintas, meningkatnya tekanan kejiwaan akibat kemacetan dan berkurangnya aktivitas fisik seseorang karena lebih banyak di kendaraan. Hal ini secara tidak langsung menciptakan lingkungan yang tidak sehat.

PERMASALAHAN DARI ASPEK IKLIM
Ciri yang menonjol pada iklim tropis adalah tingginya suhu rata-rata harian dibanding pada iklim lain. Persoalan yang ditimbulkan oleh iklim ini dalam kaitannya dengan kota sebagai tempat manusia bermukim dan melangsungkan aktifitas kerja sehari-hari, dalam hal ini terjadinya moda transportasi, adalah sebagai berikut:
1. Pemanasan yang ditimbulkan oleh Radiasi Matahari
2. Berkurangnya kecepatan angin pada kawasan urban
3. Berkurangnya vegetasi
Problematik yang ditimbulkan oleh iklim tropis basah, seperti halnya curah hujan yang tinggi, suhu udara yang umumnya berada diatas toleransi kenyamanan, radiasi matahari yang menyengat, kelembaban tinggi serta aliran udara yang relatif lambat bagi pencapaian kenyamanan termis, tidak banyak diantisipasi oleh perencana maupun perancang kota. Perencana kota kurang memikirkan bagaimana melengkapi system transportasi dengan fasilitas-fasilitas, seperti jalur pejalan kaki / pedestrian ways yang terlindung dari hujan dan sengatan matahari., jalur pe-sepeda / jogging track, street furniture dan sebagainya, yang diiringi dengan kondisi vegetasi yang memadai / tetap mementingkan penghijauan untuk menjaga keseimbangan antara kecepatan membuang karbondioksida (CO2) dan produksi oksigen (O2) yang dilakukan tumbuhan. sehingga setiap penduduk/individu tetap merasa nyaman dalam melakukan aktivitasnya walaupun ditempuh dengan berjalan kaki. Banyak dijumpai, bahwa penghuni suatu permukiman di kota atau tepi kota harus menggunakan kendaraan hanya untuk menuju kantor pos, menuju bank, bahkan untuk sekedar potong rambut sekalipun. Penempatan fungsi-fungsi bagi aktifitas penduduk kota tidak direncanakan sedemikian rupa sehingga penghuni kawasan permukiman dapat melakukan aktifitas kesehariannya dalam radius yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. 

PERMASALAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN KONSUMSI ENERGI
Sistem transportasi perkotaan yang disandarkan pada penggunaan kendaraan pribadi telah terbukti mengkonsumsi energi yang berlebihan, mengganggu kondisi kesehatan masyarakat, dan tingkat pelayanan yang terus menurun walaupun dengan investasi yang terus bertambah. 
Pada kehidupan yang masih bertaraf dasar, manusia yang hidup pada iklim tropis (basah) cenderung tidak memerlukan energi (listrik) untuk mempertahankan hidupnya. Mereka dapat hidup tanpa bantuan alat pemanas ataupun pendingin udara. Mereka dapat menggunakan lampu penerang yang menggunakan bahan bakar tumbuh-tumbuhan, misalnya minyak kelapa, minyak buah Jarak, dan sebagainya. Sementara rekan mereka yang berada pada iklim sub tropis sulit untuk dapat melangsungkan hidup tanpa bantuan pemanas pada musim dingin. Singkat kata, ketergantungan manusia tropis terhadap energi (listrik) sebetulnya relatif jauh lebih rendah dibanding mereka yang berada pada iklim sub tropis tersebut. Meskipun demikian, dengan terjadinya pertukaran budaya, informasi dan teknologi, serta penjajahan baru dalam bidang ekonomi yang dilakukan negara maju (berkuasa) terhadap negara berkembang (lemah), kecenderungan pemaksaan penggunaan teknologi dari negara maju terhadap negara berkembang, baik secara langsung maupun tidak langsung, mengakibatkan ketergantungan negara berkembang yang umumnya berada pada wilayah tropis, terhadap penggunaan energi cenderung meningkat secara pesat. Perancangan kota di Indonesia yang mengadop konsep dari negara sub tropis, terutama Amerika Serikat, membuat kota menjadi tidak nyaman secara termis, tanpa penggunaan energi secara signifikan. Kota dirancang dengan jalan-jalan lebar serta ruang-ruang terbuka yang diperkeras, tanpa cukup diberi peneduh pohon. Bangunan-bangunan dirancang sedemikian rupa sehingga tidak akan nyaman tanpa pengkondisian udara, mengakibatkan peningkatan suhu udara kota yang semula sudah tinggi akibat pemanasan aspal, beton, serta pembuangan panas oleh mesin-mesin pengkondisian udara itu sendiri. Kemudian ditambah panas yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor yang menggunakan AC.  Akibat suhu udara kota yang tinggi, manusia kota lalu cenderung menggunakan kendaraan bermotor meskipun untuk menempuh jarak yang relatif pendek sekalipun. 

PERMASALAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN
Suatu kenyataan terpampang di hadapan mata. Pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan telah mencapai 18% di atmosfer. Selama 310 hari atau 85% dari 365 hari dalam setahun, kualitas udara di Kota Bandung tergolong buruk karena berada di atas baku mutu. Artinya, 55 hari di sepanjang tahun masyarakat Kota Bandung mengisap udara yang membahayakan kesehatannya. Suhu Kota Bandung pun bertambah 0,30 setiap tahun. (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2008). Belajar dari pemberitaan tersebut, jadi bagaimana dengan kondisi kota Makassar sendiri? Jawabannya dipastikan lebih “lebih mengkhawatirkan”.
Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan hidup kita, di manapun kita tinggal di daerah perkotaan ataupun di daerah pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja. Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan sesama.
Faktor-faktor lingkungan yang timbul akibat aktivitas transportasi, umumnya terkait dengan:
  • Kebisingan,
  • Polusi Udara,
  • Tundaan pejalan kaki,
  • Kecelakaan lalu lintas,
  • Stress bagi pengemudi,
  • Kesehatan masyarakat.
Di antara faktor-faktor tersebut yang dirasakan paling mengganggu adalah kebisingan dan polusi udara.Kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan karena memiliki intensitas atau volume yang melampaui level yang dapat diterima. Umumnya suara yang makin keras makin tidak diinginkan. Suara mulai tidak nyaman pada tingkat 65 dB dan mulai mengganggu ketika mencapai 85 dB dan pada tingkat 95 dB sudah sangat mengganggu dan dapat merusak pendengaran. Begitupun dampak polusi udara terhadap manusia dapat berupa gangguan kesehatan dalam jangka panjang yang dapat mengakibatkan penurunan daya refleks dan kemampuan visual; atau jangka pendek seperti gangguan pernafasan dan sakit kepala. Polusi udara umumnya memberikan dampak terhadap sistem pernafasan manusia seperti kesulitan bernafas, batuk, asma, kerusakan fungsi paru, penyakit pernafasan kronis dan iritasi penglihatan. Tingkat keseriusan gangguan tersebut tergantung dari tingkat pemaparan dan konsentrasi polutan yang merupakan fungsi dari volume dan komposisi lalulintas, kepadatan serta kondisi cuaca.

PERWUJUDAN TRANSPORTASI HIJAU
Transportasi hijau adalah sebuah konsep yang dikembangkan sebagai suatu antithesis terhadap kegagalan kebijakan, praktek dan kinerja sistem transportasi yang dikembangkan selama kurang lebih 50 tahun terakhir, terkhusus kota Makassar. Istilah transportasi hijau sendiri berkembang sejalan dengan istilah munculnya transportasi berkelanjutan dimana terminologi pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987 (World Commission on Environment and Development, United Nation).  Secara khusus transportasi berkelanjutan diartikan sebagai “upaya untuk memenuhi kebutuhan mobilitas transportasi generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mobilitasnya”.
Upaya mewujudkan transportasi hujau pada dasarnya dapat dilakukan dengan upaya mencegah terjadinya perjalanan yang tidak perlu (unnecessary mobility) atau dengan penggunaan teknologi angkutan yang dapat mengurangi dampak lingkungan akibat kendaraan bermotor, atau dengan memperbanyak vegetasi jalan sehingga lebih banyak komunitas pengendara non bermotor dibanding bermotor. Adapun bentuk yang terkait dalam upaya perwujudan tersebut : dengan melakukan manajeman kebutuhan transportasi yakni; upaya revitalisasi kawasan lama atau kawasan terpadu baru yang berlokasi pada jalur-jalur transportasi utama seperti jalur angkutan umum dengan mengembangkan kawasan berfungsi campuran (mixed-use) antara fungsi hunian, komersial dan perkantoran. Dan pengurangan jumlah perjalanan, yakni; dengan memanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk mengurangi kebutuhan pergerakan orang dan barang melalui penerapan konsep tele-conference, tele-working, tele-shopping, tele-commuting, agar dapat mengurangi kebutuhan mobilitas penduduk antar kawasan seperti Transit Oriented Development (TOD).
  
KESIMPULAN
  • Dari persoalan-persoalan yang terakumulasi ini, manusia yang tinggal di kota sudah  penuh dengan berbagai permasalahan dari segi iklim, energi, & lingkungan.
  • ketergantungan manusia yang tinggal di kota terhadap penggunaan energi menjadi tinggi.
  • Beberapa persoalan di atas, hanya mungkin diatasi jika perencana & perancang kota memahami strategi perancangan kota tropis dan mengaplikasikan rancangannya secara benar, sesuai dengan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim tersebut.
  • Konsep transportasi hijau merupakan solusi awal/masukan kepada pemerintah/instansi terkait guna menuju kota hijau.


REFERENSI

Alwi, Hasan, dan Tim (Pusat Bahasa), 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Givoni, B., 1998, Climate Considerations in Building and Urban Design,Van Nostrand Reinhold, USA.

Granham, Harri Launce, 1970. Maintaining The Spirit Of Place, Process For The Preservation of Town Character, PDA Publisher Co, Mesa Arizona.

Jurnal / Laporan Penelitian :
Karyono, Tri Harso., 2001, Wujudkan Kota Tropis Di Indonesia, Program Studi di Jakarta.

Koran:
Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2008.

Internet :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar