Senin, 31 Oktober 2011

PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKOTAAN


PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKOTAAN*
Oleh: Sriany Ersina*

*Lecturer, Department of Architecture, Urban Design Data Lab., State Islamic University of Alauddin Makassar, South Sulawesi, Indonesia.


I.       PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perkembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini tumbuh dengan pesat sesuai dengan pertumbuhan penduduk yang relative tinggi. Pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan secara umum disebabkan adanya pertambahan alami penduduk perkotaan dan migrasi dari desa ke perkotaan yang lebih dikenal dengan urbanisasi. Menurut Reksohadiprodjo, (1997:93), urbanisasi merupakan proses sosial penciptaan system dinamis yang dikenal sebagai kota.
Urbanisasi meliputi perubahan penduduk, proses produksi dan lingkungan sosial ekonomi pedesaan ke ekonomi kota. Adanya urbanisasi menyebabkan antar hubungan manusia, makhluk lain, sumber daya dan teknologi dengan lingkungan hidup di kota menjadi berubah akibat perilaku manusia, sehingga perkembangan kota tidak pernah terlepas dari aspek lingkungan hidup, sebagaimana tertuang dalam UU RI Nomor 23 tahun 1997. Kualitas lingkungan hidup harus dijaga kelestariannya agar kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang lebih terjamin.
Perilaku manusia yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya tersebut dari hari ke hari berkembang menjadi aktivitas yang lebih dinamis dan serba kompleks. Guna mendorong aktivitas yang lebih dinamis dan serba kompleks, untuk itu diperlukan dukungan prasarana kota, seperti prasarana air bersih, prasarana air buangan/hujan, dan prasarana persampahan serta sanitasi yang memadai baik secara kuantitatif maupun kualitatif, agar seluruh aktivitas penduduk tersebut dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan sehat.
Setiap aktivitas manusia kota baik secara pribadi maupun kelompok, baik di rumah, kantor, pasar dan dimana saja berada, pasti akan menghasilkan sisa yang tidak berguna menjadi buangan. Oleh karena itu pertambahan penduduk yang disertai dengan tingginya arus urbanisasi ke perkotaan telah menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari. Hal tersebut bertambah sulit karena keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Pengangkutan sampah ke TPA juga terkendala karena jumlah kendaraan yang kurang mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua. Masalah lainnya adalah pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.
Menurut Keputusan Dirjen Cipta Karya, nomor 07/KPTS/CK/1999: Juknis Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan Bidang Ke-PLP-an Perkotaan dan Perdesaan, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan an-organik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Kehadiran sampah kota merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan pengelola kota, terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarananya. Untuk itulah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana persampahan maka dibutuhkan standar pelayanan untuk
jaringan persampahan di perkotaan.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar sebesar 37,6 % , yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar 53,3 %.*

B.  Rumusan Masalah
Munculnya kecemasan terhadap pengelolaan sampah di perkotaan  merupakan suatu masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu perlunya pendekatan beberapa aspek untuk menangani masalah sampah di perkotaan, yaitu : aspek teknik, aspek kelembagaan, aspek keuangan & manajemen, serta pengelolaan persampahan secara terpadu.

C.  Sistematika Pembahasan

1.    Aspek Teknik
2.    Aspek Kelembagaan
3.    Aspek Keuangan & Manajemen
4.    Pengelolaan Persampahan Secara Terpadu


D. Tujuan dan Kegunaan
Makalah ini bertujuan untuk menemukan solusi bagaimana penanganan sampah di perkotaan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.

II.    PEMBAHASAN

A.  Aspek Teknik
Hal pertama yang perlu diketahui dalam mengelola persampahan adalah karakter dari sampah yang ditimbulkan oleh masyarakat perkotaan. Berbagai karakter sampah perlu dikenali, dimengerti dan difahami agar dalam menyusun sistem pengelolaan yang dimulai dari perencanaan strategi dan kebijakan hingga pelaksanaan penanganan sampah dapat dilakukan secara benar.
Karakter sampah dapat dikenali sebagai berikut: (1) tingkat produksi sampah,  (2) komposisi dan kandungan sampah, (3) kecenderungan perubahannya dari waktu ke waktu. Karakter sampah tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran serta gaya hidup dari masyarakat perkotaan. Oleh karena itu sistem pengelolaan yang direncanakan haruslah mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dari karakter sampah yang ditimbulkan.
Perbandingan rata-rata sampah yang ditimbulkan oleh setiap penduduk di Jakarta adalah sebanyak 0,8 kg/hari, di Bangkok sebanyak 0,9 kg/hari, di Singapura 1,0 kg/hari dan di Seoul sebanyak 2,8 kg/hari. *
Pengumpulan sampah pada lokasi timbulan sampah merupakan hal selanjutnya yang perlu diketahui, berbagai permasalahan pada kegiatan pengumpulan sampah antara lain banyaknya timbunan sampah yang terkumpul tapi tidak tertangani (diangkut/ditanam) sehingga pada saat sampah tersebut menjadi terdekomposisi dan menimbulkan bau yang akan mengganggu pernafasan dan mengundang lalat yang merupakan pembawa dari berbagai jenis penyakit. Tempat sampah yang memadai menjadi hal yang sangat langka pada kawasan yang padat penduduknya. Sungai dianggap merupakan salah satu tempat pembuangan sampah yang paling mudah bagi masyarakat perkotaan. Hal tersebut dilakukan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi kemudian, memang untuk sementara sampah yang dihasilkan tidak tertimbun pada lokasi penimbunan sampah tetapi untuk jangka panjang akan menyebabkan berbagai masalah yang tidak kalah besarnya.
Kegiatan selanjutnya adalah berkaitan dengan pengangkutan sampah dari tempat timbulan sampah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Pengangkutan sampah umumnya dilakukan dengan mengunakan gerobak atau truk sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun dinas kebersihan kota. Beberapa hal yang terjadi pada pengangkutan sampah tersebut adalah ceceran sampah maupun cairannya sepanjang rute pengangkutan, atau terhalangnya arus transportasi akibat truk sampah yang digunakan oleh dinas kebersihan kota mengangkut sampah. Pada beberapa daerah yang padat penduduknya, TPS sangat kecil dan tidak cukup untuk menampung sampah yang ditimbulkan. Hal tersebut akan mengakibatkan timbunan sampah yang tidak terangkat, dan bila terdekomposisi akan menimbulkan bau dan akan mengundang lalat.
Pengangkutan sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir merupakan kegiatan selanjutnya yang perlu dipikirkan. Memindahkan sampah dari tempat pembuangan sampah sementara yang hanya ditimbun dan tidak ditempatkan pada tempat penampungan akan menyebabkan kesulitan pada saat memindahkan sampah tersebut. Proses pemindahan tersebut harus dilakukan cepat agar tidak menggangu kelancaran lalu lintas dan penggunaan truk pengangkut menjadi efisien.
Pengangkutan dari TPS ke TPA banyak yang dilakukan dengan menggunakan truk bak terbuka dan sudah bocor, sehingga sering terjadi sampah dan cairan sampah yang diangkut tersebar disekitar rute perjalanan. Hal ini menjadikan keindahan kota tergangu karena sampah tercecer dan bau yang ditimbulkan akan menggangu pernafasan. Banyaknya sampah yang harus diangkut akan memerlukan banyak truk pengangkut, dengan keterbatasan jumlah truk yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan, ritasi truk pengangkut menjadi lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan biaya perawatan truk pengangut akan meningkat dan masa pakai kendaraan pengangkut akan semakin pendek.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah waktu tempuh ke TPA. Jarak tempuh dan kondisi jalan yang kurang memadai menyebabkan waktu tempuh menjadi lama, sulitnya memperoleh lahan yang sesuai untuk TPA pada kawasan perkotaan menyebabkan waktu dan jarak tempuh ke TPA menjadi lebih lama dan lebih panjang.
Hal terakhir dari aspek teknis yang perlu diketahui adalah TPA. Semakin banyaknya volume sampah yang dibuang akan memerlukan TPA yang lebih luas. Sebagai konsekuensinya diperlukan tanah yang luas sebagai tempat pembuangan dan tanah penimbun sampah di TPA. Para ahli lingkungan merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada, umumnya menggunakan sistem open dumping atau controlled dumping. Masih sedikit kota yang telah menerapkan sistem sanitary landfill.

B.  Aspek Kelembagaan
Pada beberapa kota umumnya pengelolaan persampahan dilakukan oleh dinas kebersihan kota. Keterlibatan masyarakat maupun pihak swasta dalam menangani persampahan pada beberapa kota sudah dilakukan untuk beberapa jenis kegiatan. Masyarakat banyak yang terlibat pada sektor pengumpulan sampah di sumber timbulan sampah, sedangkan pihak swasta umumnya mengelola persampahan pada kawasan elit dimana kemampuan membayar dari konsumen sudah cukup tinggi.
Umumnya dinas kebersihan selain berfungsi sebagai pengelola persampahan kota, juga berfungsi sebagai pengatur, pengawas, dan pembina pengelola persampahan. Sebagai pengatur, Dinas Kebersihan bertugas membuat peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh operator pengelola persampahan. Sebagai pengawas, fungsi Dinas kebersihan adalah mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah dibuat dan memberikan sanksi kepada operator bila dalam pelaksanaan tugasnya tidak mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Fungsi Dinas kebersihan sebagai pembina pengelolaan persampahan, adalah melakukan peningkatan kemampuan dari operator. Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan maupun menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk mendapatkan umpan balik atas pelayanan pengelolaan persampahan.
Tumpang tindihnya fungsi-fungsi tersebut menjadikan pengelolaan persampahan menjadi tidak efektif, karena sebagai pihak pengatur yang seharusnya mengukur kinerja keberhasilan pengelolaan sampah dan akan menerapkan sanksi bila pihak operator tidak dapat dilakukan karena pihak operator tersebut tidak lain adalah dirinya sendiri. Dengan demikian kinerja operator sulit diukur dan pelayanan cenderung menurun.

C.  Aspek Keuangan & Manajemen
Pada kawasan perkotaan dimana Dinas Kebersihan menjadi pengelola persampahan, dana untuk pengelolaan tersebut berasal dari pemerintah daerah dan retrribusi jasa pelayanan persampahan yang berasal dari konsumen.
Pada umumnya ketersediaan dana pemerintah untuk menangani persampahan sangat kecil, demikian juga retribusi yang diperoleh dari konsumen juga sedikit. Rata-rata retribusi yang diperoleh Dinas Kebersihan pada kota-kota besar adalah Rp.1500 – 3600 /bulan/konsumen. *
Jumlah perolehan retribusi tersebut masih jauh dari biaya pemulihan yang diperlukan untuk mengelola pelayanan sampah. Untuk menarik retribusi tersebut sering digunakan jasa petugas - petugas dari penyedia jasa lainnya, seperti PLN, PDAM. Hal tersebut disebabkan karena jumlahperolehan dari retribusi kecil dan tidak menguntungkan bila menggunakan staf dinas kebersihan untuk menarik retribusi tersebut.
Hasil retribusi yang diperoleh dari pelayanan pengelolaan sampah akan semakin kecil karena banyak retribusi yang tidak tertagih, hal ini menjadi semakin sulit karena enforcement terhadap penunggak retribusi tersebut tidak dilakukan, bila enforcement tersebut tidak juga dilakukan maka kecenderungan pelanggan yang tidak membayar akan meningkat.

D. Pengelolaan Persampahan Secara Terpadu
Untuk mengelola persampahan hal pertama yang harus diperhatikan adalah kebijakan dari pemerintah yang dibuat dengan pendekatan menyeluruh sehingga dapat dijadikan payung bagi penyusunan kebijakan ditingkat pusat maupun daerah. Belum adanya kebijakan pemerintah tersebut menyulitkan pengelolaan persampahan. Kebijakan strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah baru pada tahap aspek teknis yaitu dengan melakukan pengurangan timbulan sampah dengan menerapkan Reduce, Reuse dan Recycle ( 3 R ), dengan harapan pada tahun 2025 tercapai “zero waste“.
Pendekatan pengelolaaan persampahan yang semula didekati dengan wilayah administrasi, dapat diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan secara regional dengan menggabungkan beberapa kota dan kabupaten dalam pengelolaan persampahan. Hal ini sangat menguntungkan karena akan mencapai skala ekonomis baik dalam tingkat pengelolaan TPA, serta pengangkutan dari TPS ke TPA.
Berbagai prinsip yang perlu dilakukan dalam menerapklan pelaksanaan pengelolaan persampahan secara regional ini adalah sebagai berikut :
1. Membentuk peraturan daerah bersama yang mengatur pengelolan persampahan. Peraturan tersebut berisi berbagai hal dengan mempertimbangkan aspek hukum dan kelembagaan, teknik, serta aspek keuangan;
2. Dari aspek kelembagaan telah ada pemisahan peran yang jelas antara pembuat peraturan, pengatur/pembina dan pelaksana (o perator). Dengan adanya pemisahan yang jelas ini, diharapkan penerapan peraturan dapat dilakukan dengan optimal termasuk unsur pembinaan yang berupa sangsi-sangsi yang tegas.
3.  Dari aspek teknis telah diterapkan beberapa indikator-indikator pelayanan, antara lain :
a.   Tidak terdapat timbunan sampah pada tempat terbuka;
b.  Pengumpulan sampah harus dilakukan secepat mungkin dan menjangkau seluruh kawasan perkotaan termasuk kawasan rumah tinggal, niaga, fasilitas umum dan tempat-tempat wisata;
c. Sampah hanya dikumpulkan pada TPS atau kontainer sampah yang telah ditentukan;
d. Sampah yang terkumpul pada TPS harus sudah diangkat ke TPA dalam waktu yang kurang dari 24 jam;
e.  Pengangkutan dari TPS dan dibuang ke TPA harus tidak menyebabkan kemacetan lalu lintas serta tidak menimbulkan ceceran sampah maupun cairannya di sepanjang jalan;
f. Pengoperasian TPA dilakukan dengan sistem sanitary landfill;
g.  Mengoptimalkan manfaat nilai tambah dari sampah dengan menerapkan daur ulang atau melakukan pengomposan.
4. Dari aspek keuangan, indikator minimal yang harus diterapkan adalah Biaya untuk pengelolaan persampahan harus menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost receovery), dan sedapat mungkin menghindari dana subsidi dari pemerintah.
Untuk menerapkan indikator tersebut diatas dapat dilakukan beberapa hal pada tahapan pengelolaan persampahan, yaitu:
1. Pada tahap pengumpulan sampah disumber timbulan harus menerapkan program penghematan lahan TPA yaitu dengan melakukan pemisahan jenis-jenis sampah (sampah organik dan non-organik). Untuk dapat melaksanakan pemisahan ini perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : konsumen perlu menyediakan tempat sampah yang terpisah untuk sampah yang organik dan non-organik, melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi pemisah sampah di sumber timbulan. Pengatur perlu membuat peraturan daerah yang mengatur tentang pelaksanaan pemisahan jenis sampah, disertai dengan enforcement yang ketat. Untuk kawasan fasilitas umum perlu ada operator pengumpulan sampah, yang ditunjuk oleh badan pengatur dan pembiayaannya dilakukan melalui subsidi silang dari kawasan komersial atau domestik, atau melalui subsidi pemerintah daerah yang diberikan dengan cara pelelangan, dimana operator yang paling rendah meminta subsidi pemerintah daerah akan ditunjuk
sebagai pengelola persampahan di kawasan fasilitas umum,
2.   Tempat pembuangan sementara sedapat mungkin dilakukan dengan menggunakan kontainer tertutup agar mudah diangkut sehingga penggunaan truk akan semakin efisien dan tidak menimbulkan kemacetan lalu lintas pada saat pemindahan sampah dari TPS ke truk pengangkut. Truk harus didisain. Hal tersebut akan meningkatkan biaya investasi tetapi biaya operasi dan perawatan serta biaya sosial yang ditimbulkan dapat ditekan menjadi lebih rendah,
3. Dengan menggunakan kontainer sebagai TPS maka, truk pengangkut yang digunakan haruslah yang sesuai dengan kontainer tersebut. Dengan demikian pemindahan sampah dari TPS cukup dilakukan dengan mengangkat kontainer yang terlah disediakan. Hal ini akan mempersingkat waktu pemindahan sampah dari TPS ke TPA. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang direkomendasikan oleh para ahli dengan menggunakan sistem sanitary landfill dapat dilengkapi dengan sarana pengomposan dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa sampah yang tidak dapat didaur ulang ataupun dibuat menjadi kompos kemudian dibakar dan disimpan dalam kolam sanitarylandfill. Proses ini dapat dinamakan Instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST).
Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA.
Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan beberapa macam teknologi, diantaranya menggunakan salah satu metodologi dibawah ini;
a. metodologi aerasi;
b. metodologi turning over bahan kompos (membolak balik bahan kompos)
c. metodologi open air atau reactor based.
Pemilihan jenis metodologi yang tepat perlu mempertimbangkan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut;
1. proses yang digunakan haruslah ramah ters\hadap lingkungan;
2. Biaya investasi tidak terlalu tinggi/ terjangkau;
3. Biaya operasional dan perawatan pembuatan kompos cukup murah;
4. Kualitas kompos yang dihasilkan cukup baik dibandingkan dengan pupuk kimia buatan;
5.  Harga kompos dapat terjangkau oleh masyarakat dan penggunaannya dapat bersaing dengan pupuk kimia buatan;
6. Menggunakan tenaga kerja yang bersifat padat karya.
Rendahnya perhatian yang diberikan terhadap masalah persampahan terbukti dengan kecilnya anggaran yang disediakan bagi penanganan persampahan ini. Sementara disisi lain, penghasilan yang didapat dari pelayanan persampahan masih jauh dari tingkat yang memungkinkan terjadinya pemulihan biaya agar penanganan dapat mandiri dan berkelanjutan.
Dalam kaitan tersebut perlu kiranya dipersiapkan langkah-langkah strategis, melalui penelusuran kemungkinan penerapan tarif progresif, dimana tarif dikenakan atas dasar volume sampah yang dibuang pelanggan atau penimbul baik domestik, industri, maupun komersial. Dengan landasan penerapan tarif seperti itu, maka dimungkinkan adanya insentif bagi operator dalam melakukan perhitungan jumlah volume yang dibuang dengan. tarif retribusi yang ditarik.
Struktur tarif retribusi yang berlaku pada umumnya dirasakan masih konvensional dan belum memungkinkannya adanya subsidi diantar pelanggan sebagaimana yang telah dilaksanakan pada sistem pelayanan publik yang lain seperti air minum dan listrik. Struktur tarif tersebut perlu disesuaikan dengan berpegang pada prinsip pemulihan biaya (full cost recovery) dan juga dengan dasar yang berkeadilan. Dalam hal ini perlu dilakukan perbedaan struktur tarif diantara domestik, industri dan komersial dengan melihat kemungkinan adanya silang pembiayaan dari tipe pelanggan satu terhadap yang lain. Hal yang perlu menjadi dasar pembedaan struktur tarif ini adalah adanya ability to pay dan willingness to pay yang berlainan dari masing-masing tipe pelanggan. Dengan melakukan silang pembiayaan akan dapat menciptakan insentif diantara pelanggan tanpa membebani operator secara berlebihan, sehingga tarif retribusi bagi masyarakat kurang mampu masih dapat terjangkau.
Penerapan subsidi seperti yang dikemukakan diatas perlu dikaji lebih mendalam agar kebijakan atas subsidi tersebut tidak salah sasaran. Subsidi dalam jasa pelayanan hanya dan harus diberlakukan kepada golongan dengan kemampuan membayar yang rendah. Satu contoh yang menarik diambil dari konsep kebijakan subsidi tarif air minum oleh Pemerintah Chili, dimana para operator dikompetisikan untuk mendapatkan dana subsidi yang dibayarkan oleh Pemerintah sehingga subsidi tersebut menjadi bagian dari insentif yang diberikan kepada operator.

III.    PENUTUP
Kesimpulan
Persampahan telah menjadi suatu agenda permasalahan utama yang dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Pesatnya pertambahan penduduk yang disertai derasnya arus urbanisasi telah meningkatkan jumlah sampah di perkotaan dari hari keharinya. Keterbatasan kemampuan Dinas Kebersihan dalam menangani permasalahan tersebut menjadi tanda awal dari semakin menurunnya sistem penanganan permasalahan tersebut. Hal ini semakin sulit karena adanya keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, dan terkendala jumlah kendaraan serta kondisi peralatan yang telah tua. Belum lagi pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.
Kekurangpedulian penanganan persampahan ini dapat terlihat dari kecilnya anggaran yang disediakan untuk menangani permasalahan persampahan ini. Sementara disisi lain, penghasilan yang didapat dari pelayanan persampahan masih jauh dari tingkat yang memungkinkan adanya penanganan yang mandiri dan berkelanjutan. Sistem pentarifan dalam bentuk retribusi masih konvensional dan tidak memungkinkan adanya insentif bagi operator .
Untuk memahami permasalahan tersebut, perlu dilihat beberapa aspek yang menaungi sistem pengelolaan persampahan tersebut, meliputi (1) aspek teknis, (2) aspek kelembagaan, (3) aspek manajemen dan keuangan serta (4) pengelolaan sampah terpadu. Dengan melakukan peninjuan beberapa aspek & pengelolaan tersebut diatas, dapat disimpulkan perlunya suatu rencana tindak (action plan) yang meliputi, (1) melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya, (2) merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara terpadu (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir), (3) memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan reward & punishment dalam pelayanan, (4) menggalakkan program Reduce, Reuse dan Recycle (3 R) agar dapat tercapai program zero waste pada masa mendatang, (5) melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost recovery) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe pelanggan (6) mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan.




DAFTAR PUSTAKA
Carl Bartone, dkk.,(1992) ”Enviromental Management and Urban Development :     Issues and Options for Third World Cities, Environment and Urbanization, Vol.4, No.2.

Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama & Pasca Krisis, Deputi Bidang Sarana & Prasarana Bappenas, Oktober 2002
                  

Nurmandi, Achmad., (2006), ”Mnajemen Perkotaan; Aktor Organisasi Pengelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia”, Sinergi Publishing & Lab FISIP Yogyakarta.


N,Harris, (1990), “Urbanization, Economic Developmnent and Policy in Developing Countries”, Development Planning Unit Working Paper No. 10 London, h.22.

Soetomo, Sugiono, (2002), “Dari Urbanisasi ke Morfologi Kota”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.


Trancik, Roger, (1986), “Finding Lost Space”, VNR Company, New York


Water Supply and Sanitation Sector Review, Strategy and Action Plan Preparation, RWSG-EAP, BAPPENAS, 1995


 Zahnd, Markus, (1999), “Perancangan Kota Secara Terpadu”, Soegijapranata University Press



* Disampaikan Pada Forum Ilmiah Dosen  Fakultas Sains dan Teknologi
Uiniverstas Islam Negeri Alauddin Makassar Pada tanggal 28 Januari 2011

* Calon Dosen Pada Jurusan Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
* Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama & Pasca Krisis, Deputi Bidang Sarana & Prasarana Bappenas, Oktober 2002
* Water Supply and Sanitation Sector Review, Strategy and Action Plan Preparation, RWSG-EAP, BAPPENAS, 1995
* Water Supply and Sanitation Sector Review, Strategy and Action Plan Preparation, RWSG-EAP, BAPPENAS, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar